Menyimak Kicau Merajut Makna
Sebelum kedatangan Imam Asy Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas (93-185 H) yang menjadi muara rujukan bagi kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada umumnya di zaman itu. Mereka adalah ‘Abdullah ibn Wahab (125-197), ‘Abdurrahman ibn Al Qasim (128-191), dan Asyhab ibn ‘Abdil ‘Aziz Al Qaisi (150-204).
Suatu hari, antara Imam Asyhab dan Imam Ibn Al Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan. Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini”. Ibn Al Qasim menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan begini.”
“Aku bersumpah”, ujar Asyhab yang termuda itu dengan suara meninggi, “Bahwa ucapanmu itu keliru!”
“Dan akupun bersumpah”, sahut Ibn Al Qasim, “Bahwa engkau salah!”
Siapakah yang sanggup menjadi hakim jika dua orang yang ‘alimnya ‘alim dan faqihnya faqih ini berselisih? Dialah Imam Ibn Wahab. Beliaulah satu-satunya. Apakah hal ini tersebab usianya yang lebih tua daripada kedua rekannya?
Bukan. Bukan tersebab umur beliau disepakati untuk menengahi perdebatan kedua Imam besar tersebut. Ibn Wahab menjadi pengadil semata-mata karena beliaulah murid Malik yang paling tekun dan teliti mencatat setiap kata yang keluar dari lisan Sang Guru. Catatannya pun adalah yang paling rapi dan paling lengkap. Dan Imam Malik mencintainya melebihi murid manapun.
“Malik adalah seorang guru yang keras”, tutur para murid lain, “Tak ada yang selamat dari sifat kerasnya kecuali Ibn Wahab.”
Bagaimanakah mula kiranya kasih sayang Imam Malik tumbuh bagi Ibn Wahab? Alkisah, suatu hari rombongan kafilah dari India sampai di Madinah. Di antara rombongan itu terdapat beberapa ekor gajah dengan derap yang menggemparkan dan suara nyaring memekakkan. Majelis Imam Malik di Masjid Nabawi pun bubar. Para murid berhamburan keluar tersebab rasa penasaran dan tertarik pada gajah-gajah dalam kafilah. Hanya satu pelajar yang tetap duduk sembari terus mencatat dengan rapi. Dialah Ibn Wahab.
“Apa kau tak ingin melihat gajah Nak?”, tanya Imam Malik.
“Duh Guru”, jawab Ibn Wahab dengan ta’zhim, “Aku jauh-jauh datang dari Mesir untuk melihatmu dan menyimakmu. Bukan untuk menyaksikan gajah.”
Begitulah, selama 20 tahun berikutnya di Madinah, Ibn Wahab selalu berada di sisi Malik dan mencatat segala hal yang meluncur dari lisan mulia sang Imam Daril Hijrah, menguntainya bagai silsilah mutiara, serta menyusunnya dengan teratur agar mudah dipelajari lagi.
Kembali ke Mesir, jadi apa keputusan Ibn Wahab atas sengketa pemahaman antara Asyhab dan Ibn Al Qasim?
“Kalian berdua benar, tapi kalian berdua keliru, dan kalian berdua bersalah”, ujar Ibn Wahab. Apa maksudnya? “Kalian berdua benar karena Malik pernah menyampaikan kedua pendapat itu pada kesempatan berbeda. Namun kalian berdua keliru ketika saling menyalahkan. Dan kalian berdua bersalah atas sumpah yang kalian ucapkan dalam membenarkan diri dan mengkelirukan rekannya”, jelas beliau.
MasyaaLlah, sebuah ketelitian pencatatan membuahkan penghakiman yang adil, lengkap, dan tuntas. RahimahumuLlahu ajma’in.
***
Kumpulan kicauan di jejaring sosial Twitter dalam akun @salimafillah ini dengan susah payah dihimpun oleh Tim Redaksi Penerbit Pro-U Media yang diawaki Akhinda Irin Hidayat. Mungkin saja ketelitian para beliau mendekati keagungan Imam Ibn Wahab yang menakjubkan itu. Tapi yang jelas, antara Imam Malik dan Salim A. Fillah, diri si pemilik akun Twitter, terentang jarak sejauh langit yang megah dengan kubangan lumpur di bawah lembah. Jika kata-kata Imam Malik seumpama mutiara, maka kicauan ini hanya setaraf biji jola-jali jagung, itupun yang gabuk, melompong bagian dalamnya.
Tapi sungguh tersyukuri bahwa ada yang berkenan untuk menghimpunnya dari keterserakan di lini masa. Terharapkan, jika ia dirangkai dalam sebentuk buku, insyaaLlah akan bermanfaat untuk menjadi pembelajaran bagi lebih banyak lagi Shalihin dan Shalihat di aneka tempat. Atas usaha mulia itu, kami hanya bisa mengucapkan, “Ahsantum, jazakumuLlahu khairan katsira.”
Setidaknya, bagi diri kami yang lemah ini; ia berguna menjadi pengingat yang mencambuk jiwa. Bahwa kau hai Salim, pernah mengucapkan kalimat semacam ini; tidak malukah kau atas perilakumu kini? Bahwa kau hai Salim, pernah berbusa-busa menasehati sesama; tidak merindingkah kau atas keseharianmu yang jauh darinya? Bahwa kau hai Salim, pernah berkicau begitu ringan tentang kebajikan; adakah kau telah bersesak nafas dalam menjuangkan pengamalan?
Adalah ‘Umar ibn Al Khaththab berpesan, “Hisablah dirimu, sebelum kelak ‘amalmu diperhitungkan.” Semoga himpunan kicauan di Twitter ini menjadi alat kami bermuhasabah selalu, sarana bercermin tiada henti, dan tempat berkaca atas apa yang telah terkata; adakah ia teramal dalam nyata. Dan semoga dengan demikian, ia memperringan apa yang kelak terjadi di hari penentuan. Termohon doa dari Shalihin dan Shalihat semua; semoga kami tak termasuk orang-orang yang berada dalam penyesalan.
“Dan diletakkanlah Kitab. Lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang tertulis di dalamnya. Dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil, dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada tertulis. Dan Rabbmu tidak menganiaya seorang juapun.” (QS Al Kahfi: 49)
Sungguh kumpulan kicauan @salimafillah ‘Menyimak Kicau Merajut Makna’ ini adalah sekedar yang tercatat untuk direnungi. Terutama oleh pengicaunya. Dan jika Shalihin dan Shalihat pembaca berkenan membersamai muhasabahnya, alangkah bahagia dalam syukur hati kami ini. Moga apa yang Shalihin dan Shalihat renungi dari kumpulan kicauan ini mengilhamkan ‘amal shalih yang kamipun tak terhalang dari pahalanya, menjadi bekal menghadap Allah ‘Azza wa Jalla.
***
Sebagai penutup untuk pengantar sederhana ini, izinkan kami kembali berkisah tentang Imam Asyhab dan Ibn Al Qasim, rahimahumaLlah. Moga keberkahan menjalari hidup kita dari pelajaran agung yang mereka torehkan di jalan ilmu nan penuh keluhuran.
Adalah Imam Asyhab menghimpun aneka sumber ilmu dari berbagai guru, memilahnya dengan hati-hati, dan menyusunnya dengan teliti menjadi kitab shahih yang diberinya tajuk Al Mudawwanah. Kitab ini dipuji oleh Al Qadhi Iyyadh sebagai “Sangat mulia, besar, dan mengandung begitu banyak ilmu.” Mendengar ihwal kitab tersebut, Imam Ibn Al Qasim segera berkunjung dan membawa juru tulis, mohon diperkenankan untuk menyalin isinya.
Setelah beberapa waktu mempelajari kitabnya, Ibn Al Qasim menulis surat pada Asyhab, memuji dengan tulus akan kebaikan isi kitab tersebut.
“Tapi dengan kitab itu kau hanya akan mereguk ilmu dari satu mata air”, balas Asyhab, “Sedangkan aku dahulu menyusunnya dengan mengambil dari banyak mata air.”
“Tapi sumber-sumbermu keruh”, timpal Ibn Al Qasim, “Sedangkan sumberku ini amat jernih.”
Terrasakah pujian indah itu oleh kita para Shalihin dan Shalihat? Ibn Al Qasim menghargai perjuangan hebat Ibn Wahab menelaah ilmu dari aneka guru yang bermacam-macam derajat keshahihannya lalu menghadiahkan baginya sebuah himpunan yang terpilih, yang paling bening dan jernih setelah dengan penuh kesulitan menyaringnya dari campuran yang keruh. “Sumbermu keruh, sedang sumberku jernih”, ujarnya.
Segala puji bagi Allah yang mengaruniai kita para ‘ulama yang akhlaq dan ilmunya bagai gugus bintang penuh cahaya. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmatNya menjadi sempurna segala kebaikan.
Tamat pengantar sederhana ini, dari hamba Allah yang tertawan dosanya, santri yang tertahan kejahilannya, berharap ada manfaat terbagi walau dalam faqir dan dha’ifnya. Sepenuh cinta.
Salim A. Fillah
-pelayan Majelis Jejak Nabi-